
Halo, pembaca The
Ilagularity.
Baru-baru ini, saya menyadari sebuah fakta yang cukup
mencengangkan. Nyatanya, perhatian saya mudah teralihkan oleh hal-hal yang saya
kira keren setelah berlama-lama surfing
di Internet atau memantau timeline medsos.
Di hari tertentu, saya tidak bisa berhenti ngeblog.
Di hari lain, saya mendadak kecanduan olahraga.
Belum tuntas saya keranjingan satu hal, tidak lama kemudian
saya membabi buta ingin mempelajari seluk-beluk digital marketing.
Pernahkah Kawan mengalami kejadian serupa?
Fenomena ini tidak ubahnya siklus tanpa akhir, terutama
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perwujudan resolusi maupun manifestasi
cita-cita yang kita perjuangkan.
Kita sepelekan pentingnya “bersiap-siap sebelum berperang”.
Kita juga tidak mau repot-repot belajar dari pengalaman
orang lain yang jelas-jelas lebih kenyang banyak makan garam di bidang tertentu
daripada kita.
Dengan remehnya kita kesampingkan apa yang tengah kita
tekuni sebelumnya sekalipun kita paham betul bahwa kita urung menuntaskannya, dan
cepat-cepat berganti ke urusan berikutnya.
Ini mirip seperti makna dari salah satu peribahasa dalam
Bahasa Jawa yang berbunyi “isuk dhele sore tempe”; cerminan dari pendirian kita
yang berubah-ubah.
Namun, gagal melihat kenyataan di depan mata, kita malah menilainya
sebagai strategi mutakhir supaya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Apa betul demikian?
Atau jangan-jangan sebenarnya kita sedang dijangkiti Shiny
Object Syndrome (SOS)?
Tetapi apa itu SOS? “Sindrom Benda Berkilau”?
Dalam ranah psikologi, Shiny Object Syndrome bisa diartikan
sebagai kondisi di mana seseorang cenderung mengikuti tren apapun yang sedang
naik daun tanpa mempertimbangkan sisi baik/buruk ataupun untung-ruginya.
Ketika kita mengidap SOS, kita memandang tren yang akan
datang sebagai peluang yang lebih bagus daripada apa yang kita kerjakan hari
ini.
Akibatnya, niat kita pun goyah, dan hasilnya tentu bisa diprediksi:
adalah hal yang mustahil buat kita untuk berkomitmen merealisasikan impian yang
dipunya dalam jangka waktu yang lama.
Saat influencer A mengunggah
postingan di Instagram tentang rencana dietnya, kita berbondong-bondong tergiring
untuk mendaftar membership jasa catering diet dengan biaya selangit.
Ketika nilai saham perusahaan X tiba-tiba melonjak tinggi, kita
sekonyong-konyong membayangkan diri kita adalah titisan Warren Buffet, sang investor
sukses. Dan, dalam sekejap, tabungan di bank ludes demi memborong
berlembar-lembar saham dari perseroan yang namanya baru kita dengar dari
pemberitaan kala itu.
Akan tetapi, pernahkah kita bertanya apa yang selanjutnya
terjadi kepada orang-orang yang gemar menceburkan diri dari satu tren ke tren
lainnya?
Yah, bukan hal mengejutkan mendapati mereka terus-menerus berjalan
di tempat sementara yang lainnya telah melesat jauh di depan.
Mereka hampir tidak pernah mendapatkan hasil yang mereka harapkan.
Kok?
Tentu saja hal ini terjadi lantaran mereka tidak pernah
betah untuk menekuni suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh.
Alhasil, mereka lekas berputus asa.
Nah, sekarang kita paham betul mengapa Shiny Object Syndrome sangat berbahaya buat kita.
Lantas, bagaimana cara melawannya?
Bagaimana cara meredam keinginan kita supaya tidak
menghambur-hamburkan uang, waktu, atau tenaga demi mengikuti tren yang lewat
sepintas lalu?
Asalkan kita mampu membatasi diri sendiri, Shiny Object Syndrome pun akan menjauh
dengan sendirinya.
Jangan melihat sesuatu dari sudut pandang jangka pendeknya
saja, dan tantang diri sendiri untuk menyelesaikan apa yang kita mulai.
Juga, buang jauh-jauh pemikiran bahwasanya kita tidak
ubahnya bagai remah-remah rempeyek andai kita ketinggalan satu-dua tren beken.
Jadikan ini momentum untuk mulai belajar memusatkan perhatian
hanya kepada satu hal terpenting di satu waktu.
Jika perlu, buat peraturan untuk kita sendiri. Apa
konsekuensi jika kita melanggar poin-poin tertentu? Dalam perkara ini, barangkali
perlu sifatnya untuk menjadi garang terhadap diri sendiri.
“It is those who concentrate on but one thing at a time who advance in this world.” – Gary Keller
Tidak ada salahnya jika kita tertarik dengan skema investasi
reksadana dan terdorong untuk mencobanya.
Yang keliru yakni apabila kita tanpa tedeng aling-aling menaruh
modal pada reksadana saham tanpa terlebih dahulu menelaah prospek dan
risikonya.
Luangkan waktu untuk membaca literatur-literatur terkait.
Jangan takut pula memperluas koneksi dan belajar dari para pakar
di bidangnya.
Atau, jika kedua opsi di atas masih kita anggap kurang, ada
baiknya juga kalau kita mengikuti kursus dan menghadiri seminar online.
Ambil setiap langkah yang kita yakini akan mendorong kita
untuk memahami resakdana saham dengan baik hingga ke detail-detail terkecil.
Ketika kita menerapkan strategi ini, niscaya kita sanggup
membuat keputusan yang lebih bijak.
Bahkan, kita bisa dengan percaya diri berujar, “Shiny Object Syndrome? Bukan gue banget!”
Kita telah terlatih untuk menguatkan tekad kita pada
tujuan-tujuan yang ingin kita capai dan mengaplikasikan aksi-aksi nyata secara
konsisten sampai garis finish membentang
di depan mata.
Kita bukan Jack of All
Trades (si serba bisa yang biasa-biasa saja), melainkan Master of One (sang ahli di bidangnya).
Hal-hal fantastis akan menghampiri kita dengan mudahnya begitu
kita melepaskan diri dari godaan distraksi yang melenakan.
Take actions.
- Baca “The One Thing: Kekuatan Fokus untuk Mendorong Produktivitas” karya Gary Keller.
- Untuk mencapai hasil yang diinginkan, pusatkan perhatian hanya kepada satu hal terpenting pada satu waktu dan tantang diri sendiri untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai.
4 komentar
Shiny Object Syndrome... Saya malah baru dngar ini.. hehe
BalasHapusBersyukur skrang udh mulai bisa fokus.. hehe. Kalau ngikutin tren terus bisa kacau ntr impianku.. wkwk. Soalnya dlu pernah sih kaya gitu.. smpe ribet mau ngikutin yg mana2.. akhirnya berhenti terus fokus ke bidang yg emnk aku ahli dan suka banget... hehe
Tulisan yg bagus Mba Ila.. 😄
Agak unik ya istilahnya, Mas Bayu? Wah, coba saya tebak.. Apa itu hobi menggambarnya Mas Bayu? Atau hobi memelihara ikan koi?
HapusCapek banget kayaknya kalau harus terus ikut tren, mba Ila 😁
BalasHapusSaya termasuk yang agak kudet sebenarnya (sampai sering diledek sohibuls saya), soalnya saya nggak terlalu ikuti tren yang ada di luaran. Even tren minum boba pun saya nggak ikutan 😂 Mungkin karena saya bukan tipe hobi coba-coba, jadi kalau sudah sukanya ice chocolate, yasudah ice chocolate terus selamanya 🤣 Bahkan, dari dulu, hobi saya tetap makan ayam 🙈 *kok jadi bahas makanan*
Semakin ke sini karena kita hidup di era digital, semakin mudah rasanya untuk kita terinfluence akan hal-hal 'shiny' di luar sana. Jadi kitanya yang harus extra keras kontrol diri kita dan tau apa yang paling tepat untuk kita. Jangan sampai kejadian seperti berita yang pernah saya baca, gara-gara hype saham ada yang sampai ambil pinjaman onlen terus ternyata sahamnya anjlok yaaa siapa yang akan tanggung resikonya kalau bukan diri kita 🙄 huhuhuhu.
So yeah saya sepakat dengan mba Ila, pada kalimat, "Kita telah terlatih untuk menguatkan tekad kita pada tujuan-tujuan yang ingin kita capai dan mengaplikasikan aksi-aksi nyata secara konsisten sampai garis finish membentang di depan mata." -- mungkin karena itu saya tetap fokus blogging ketika ada Youtube, Tik Tok endeblabla, selain karena alasan gaptek tentunya hahahaha *buat Youtube-pun semata-mata untuk share video ke blog sebab blogspot jelek banget fasilitas attach video-nya* 🤣
Thanks for sharing, mba 💕
Menurutku ya memang capek kalau mengikuti tren. Dan aku lumayan sering mengikuti tren yang lagi nge-hits. Jadi sedih deh aku. Tapi mulai tahun 2021 ini jadi selalu mengontrol diri untuk melakukan apa yang menurutku penting aja. Baca postingan ini aku jadi sadar untuk tidak terlalu suka mencoba hal baru atau sesuatu yang baru.
BalasHapusHey, what did you think of the article? Join the discussion and let me know below!