How to Give Criticism with Grace

Cara Menyampaikan Kritik Tanpa Menyinggung Perasaan Orang Lain

Halo, pembaca The Ilagularity.

Adakah manusia yang kebal terhadap kritik di dunia ini? Rasanya nyaris mustahil, ya. Atau memang sama sekali mustahil?

Sebagai manusia biasa, saya juga rentan menjadi objek kritik orang lain.

Tergantung dari bagaimana Kawan menilai diri Anda sendiri, tetapi saya menyadari seratus persen kalau saya bukanlah manusia sempurna. Tak jarang pemikiran-pemikiran saya menuai kecaman dari siapa-siapa saja yang mendengar/membacanya.

Sakit hati? Sering…

Tersulut amarah saya karenanya? Sering pula…

Kalau mengikut istilah anak sekarang mah saya barangkali dicap tukang “baper” oleh beberapa kenalan.

Namun, “baper”-nya saya itu bukan tanpa alasan.

Seumpama kritik yang disampaikan tidak diniatkan untuk menyakiti hati penerimanya, maka tidak perlu ada yang namanya merasa tersinggung.

Andaikan kritik yang diutarakan didasarkan atas tujuan yang bijak nan mulia, maka komentar tersebut justru akan diterima dengan legawa ketimbang kecewa.

Akan tetapi, bisakah kita melakukannya?

Bisakah kita menyampaikan kritik tanpa menyinggung perasaan orang lain, lebih-lebih lagi sampai membuat sang penerima murka?

Bisakah kita menyampaikan kritik dengan baik?

Secara pribadi, saya sendiri melihat gagasan tersebut sebagai usaha yang kelihatannya masih bakal sulit dilaksanakan oleh sebagian besar orang.

Walaupun demikian, pada kenyataannya, menyampaikan kritik dengan sopan dan santun kepada sesama bukanlah pandangan ideal yang cuma ada di dunia utopia.

Malahan, jika kita berhasil menerapkannya dalam keseharian, perubahan kecil itu berpotensi membawa dampak besar terutama bagi si penerimanya.

Daripada menimpali dengan umpatan-umpatan kasar, si polan justru akan menerimanya sebagai masukan.

Daripada membalas dengan emosi yang sama panasnya, ia justru akan mempertimbangkannya matang-matang.

Tentu, ada bermacam-macam alasan mengapa kita tidak tahan untuk memendam kritik itu seorang diri. Terutama mengetahui hal-hal yang tidak selaras dengan value yang kita anut, amboi, begitu gatalnya bibir (dan jari-jari) ini untuk lekas menyuarakan pendapat kita.

Namun, tidak dipungkiri lagi, salah satu alasan paling umum mengapa kita punya kecenderungan untuk mengomentari apa yang orang lain perbuat adalah keinginan untuk berbagi secuil dari “kebijaksanaan” kita tentang ihwal yang tengah dipermasalahkan.

Tidak jarang pula kritik itu adalah bentuk kepedulian kita supaya si penerima mau berubah menjadi sosok yang lebih baik (meski tidak jarang pula ada yang dengan sengaja menjadikan kritik sebagai tameng di balik cemoohan belaka mereka, para haters, contohnya).

Sekarang, mari kita berhenti sejenak dan berkaca. Lihat baik-baik apa yang tersimpan di dalam relung hati kita.

Tentu, siapa sih yang tidak ingin mengetahui bagaimana cara menyampaikan kritik tanpa menyinggung perasaan orang lain?

Namun, sebelum mempelajarinya, ajukan sebuah pertanyaan sederhana kepada diri masing-masing: mengapa kita merasa bahwa itu adalah suatu “keperluan” untuk mengkritik si A, B, C, atau siapapun itu orangnya?

Apa tujuan kita?

Apakah itu betul-betul dimaksudkan demi kebaikannya?

Apakah itu untuk memicu sebuah diskusi?

Atau, apakah kita justru sengaja berniat untuk menyakiti perasaannya karena kita, katakanlah, punya isu pribadi dengan yang bersangkutan?

Lebih buruknya lagi, apakah kita cuma iseng-iseng menjadikannya target kecaman demi melampiaskan amarah kita terhadap satu-dua hal lainnya?

Yang mana yang paling akurat mewakilkan niat kita? Suarakan jawaban di dalam hati. Simpan untuk diri kita sendiri.

Lantas mengapa kita perlu menanyakan hal tersebut dan menilik ke dalam sanubari kita?

Saya khawatir jika apa-apa yang tertulis di sini mungkin tidak akan selaras dengan outcome yang kita idam-idamkan, jika tujuan kita justru condong kepada hal-hal yang bersifat negatif.

Kok?

Sebab saya gelisah membayangkan dampak yang barangkali mengikuti setelahnya.

Saya tidak ingin kita menjurus kepada hal-hal yang membawa kesedihan bagi orang lain.

Bukankah itu yang para haters lakukan?

Saya tidak ingin menjadi pribadi yang membenci. Nyatanya, hidup kita terlalu singkat untuk dihabiskan membenci orang lain.

“Be an encourager. The world has plenty of critics already.” – Dave Willis

Namun, andaikata kita tahu pasti apa alasan di baliknya, sekarang mari kita cermati kunci-kunci pokok dalam menyampaikan kritik tanpa menyinggung perasaan orang lain.

Intinya sederhana.

Yang perlu kita lakukan antara lain:

  1. Tidak menyerang apalagi menghina dengan embel-embel “mengkritik orang lain”. → Hinaan tetaplah hinaan, alangkah baiknya apabila kita tidak berlindung di balik kata yang sama sekali berbeda maknanya.
  2. Tidak secara pribadi menyerang karakter atau pembawaan orang lain. → Apa sebetulnya yang kita permasalahkan? Kritik hal tersebut, dan usah melenceng ke persoalan-persoalan yang sama sekali tidak relevan.
  3. Hindari secara terang-terangan mengklaim bahwa seseorang itu salah/keliru.
  4. Pendam kritik tersebut untuk diri sendiri.

Cukup itu saja?

Saya tahu, susah menahannya, lebih-lebih lagi kalau kita punya tujuan mulia dengan mengkritik orang tersebut.

Kalau begitu, bagaimana jika kita coba mengingat-ingat supaya senantiasa menawarkan saran yang membangun, misalnya?

Jadi, daripada mengkritik orang lain, mengapa tidak memberikan masukan dan arahan yang tegas, khususnya tentang bagian-bagian apa saja yang kita sayangkan dari orang tersebut?

Tetapi, apakah siasat ini 100% bekerja efektif?

Jawabannya antara “ya” dan “tidak”. Itu tergantung pula pada karakteristik dari orang yang kita kritik.

Ada yang secara terang-terangan akan berterima kasih meski sembari menahan malu dan kekecewaannya.

Tetapi, tidak jarang pula yang bersifat defensif dan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap jalan yang kita ambil.

Namun, dengan trik ini, setidaknya kita bisa:

1. Mengubah sesuatu yang negatif menjadi berkesan positif.

Di benak saya, kritik mewakili sesuatu yang menyebalkan dan membikin mereka-mereka yang mendengar/membacanya dongkol.

Tapi, lain ceritanya kalau kritik itu diganti menjadi sebuah saran, apalagi jika disampaikan dengan cara yang menyenangkan.

“Hei, Rudi, sepertinya presentasi kamu ini akan jadi lebih menarik jika diberi sedikit sentuhan warna alih-alih bertemakan monokrom,” terdengar lebih baik daripada, “Hei, Rudi, presentasi kamu ngebosenin!

Mendengarnya, lawan bicara kita akan lebih tertarik untuk memulai sebuah dialog. Dengan begitu, pendapat kita tidak akan ditolak mentah-mentah, apalagi sampai bersarang di tempat sampah.

2. Menjadi pribadi yang penuh kasih terhadap sesama.

Bagaimana perasaan kita seandainya kita adalah Rudi, tokoh yang dicontohkan pada poin sebelumnya?

Apakah kita bakal senang mendengar omongan semacam itu?

Di dalam bahasa Jawa, ada sebuah ungkapan yang kira-kira berbunyi, “Aja njiwit yen kowe ora gelem dijiwit.” Artinya kurang-lebih “jangan mencubit (orang lain) kalau kamu tidak mau dicubit”.

Ungkapan ini berkaitan erat dengan bagaimana sebaiknya kita mengkritik orang lain.

Kalau mendengar cemoohan seperti, “Hei, Rudi, presentasi kamu ngebosenin! bikin kita gondok, maka kita seharusnya tahu betul bagaimana orang lain akan bereaksi ketika mendengarnya pula.

Seandainya (dan mudah-mudahan ini hanya “seandainya”), kita tetap gagal untuk menghindari kecenderungan mengkritik orang lain tanpa menyinggung perasaannya, mungkin akan lebih baik jika kita mengunci mulut rapat-rapat dan membiarkannya berlalu.

Anggaplah bahwa suatu saat nanti, akan datang orang lain yang lebih layak menempati posisi pengkritik tersebut ketimbang kita.

Dengan demikian, mungkin tidak ada yang mesti tersinggung perasaannya. Pun, lisan kita akan senantiasa terjaga dari perkataan-perkataan yang kurang bermakna.

 

Take actions.

  • Pastikan tidak menyerang apalagi menghina dengan embel-embel “mengkritik lawan bicara”.
  • Ingat untuk tidak secara pribadi menyerang karakter atau pembawaan lawan bicara.
  • Hindari secara terang-terangan mengklaim bahwa seseorang itu salah/keliru.
  • Pilih untuk memendam kritik tersebut untuk diri sendiri.

12 komentar

  1. Halo, kak. Salam kenal ya. Baca postingan ini mengingatkan aku untuk mikir dulu sebelum berbicara kepada orang lain karena seringkali saya langsung membicarakan sesuatu tanpa berfikir dahulu.


    Saya tipe orang yang gampang baper. Tapi memang benar ya "Yen ora gelem dijiwit yo ora usah njiwit" itu bener banget menurut saya. Sehingga saya pun akhirnya belajar mengontrol diri agar tidak menyakiti orang lain karena saya akan merasa tersakiti jika disakiti orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Mbak. Terima kasih sudah mengunjungi balik blog saya. Wah, apa betul itu, Mbak? Saya seneng setidaknya tulisan ini sedikit-banyak bisa jadi reminder buat kita semua. Bukan cuma Mbak kok, tapi saya juga menyadari saya ini terkadang suka terlalu ceplas-ceplos. Siapa tahu satu atau dua hal yang saya omongin tadi sebenarnya secara nggak sengaja sudah melukai hati orang lain? Tapi ya, seperti yang saya tulis dia atas, mudah-mudahan prinsip "aja njiwit yen kowe ora gelem dijiwit" itu selalu terlintas di benak sebelum bibir kita berucap segala-sesuatu...

      Hapus
  2. Mengingatkan rani akan stoicism, kita bertanggung jawab akan diri kita sendiri. Orang lain ya terserah mau menganggap kita bagaimana. Itu membuat rani jadi lebih tenang juga akan kritikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Mbak. Baik sebagai penerima ataupun pemberi kritik, menjaga emosi kita supaya nggak selangkah lebih maju dari logika adalah salah satu langkah esensial, menurut saya. "Self-control" yang diajarkan di dalam "stoicism" juga menjadi kualitas yang perlu kita punya juga, terlebih di jaman seperti sekarang di mana kita memiliki banyak pilihan untuk mengekspos siapa kita (terutama lewat medsos) dan membikin kita rentan terhadap penilaian orang-orang.

      Hapus
  3. Aku juga ngalamin. Banyak orang yg menjelekkan jelekkan aku dengan dalih menasehati. Padahal aku juga manusia, tau lah mana nasehat mana nyinyir.
    Lama lama aku mundur sih dari orang kayak gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di kira antara saran dan nyinyiran bedanya tipis ya, padahal yah jauh bangeeet. Keren, Mbak, semoga selalu terhindarkan dari orang-orang semacam itu.

      Hapus
  4. Kritik bagi adalah sebuah kepedulian.

    Walau setajam silet kritikan itu, meski diucapkan dengan diksi yang tidak bersahabat. Bila itu benar dan logis; secara pribadi saya harus berterima kasih. Itu menurut saya dan saya amalkan. Namun jauh lebih baik jika disampaikan secara bersahabat sehingga niat baik itu tidak menjadi luka bagi sesama.

    "Bang Harga rokok berapa?"

    "Dua puluh ribu sebungkus"

    "Apakah sebungkus bisa dihabiskan sehari?"

    "Bisa"?

    "Satu Bulan 30 hari, dikali 20 ribu"

    "Hasilnya sudah bisa DP rumah bang, hehehe just kidding bang"

    "Yuk ngopi lagi yo"

    Selesai--------

    "Ah bakar duit, coba kalau uang untuk rokok ditabung, setahun saja sudah bisa DP rumah"
    --------------------------------

    "Tulisan seperti ini anak SD pun bisa"

    "Tulisan ini sudah bagus, tetapi jauh lebih bagus lagi kalau ditambahkan ini"

    Mana yang lebih baik, hehhe tergantung persepsi dan pengendalian emosi.

    Stabilitas emosi dan menggagap tidak ada manusia yang sempurna dan kasih bisa mengubah persepsi barangkali bisa jadi refleksi tentang topik ini. Tentang mengkritik...

    Terima kasih sobat atas ulasan cerdasnya. salam sehat!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga sependapat, Mas Martin. Ya kali kalau cara penyampaiannya seperti, "Ah bakar duit, coba kalau uang untuk rokok ditabung, setahun saja sudah bisa DP rumah" bisa-bisa kebakaran jenggot itu yang dengerin (soalnya saya pernah ngomong gini ke Bapak saya sendiri, dan dibalas dengan tatapan mendelik dong, jadi takut kan hahahaha).

      Terima kasih buat tanggapannya yang membangun, Mas Martin. Semoga sehat selalu!

      Hapus
  5. Aku ga pernah masalah dengan yg namanya kritik. Asal disampaikan dengan santun dan benar. Tapi kalo diungkapkan dengan ancaman ato kata2 kasar, seperti yg pernah aku dapet, itu lgs aku tendang ke spam komennya, ga penting untuk didengerin.

    Mungkin merek marah baca review jujur yg aku tulis ttg kuliner dan tempat wisata. Tapi bukan berarti bisa mengancam dlm memberikan kritik. Toh kritik yg aku tulis di blog selalu halus, ga pernah kasar. Aku curiga dia pemilik rumah makan yg aku review minus:p.

    Sudah kalo berhadapan dgn org yg ga bisa Nerima kekurangan yg dia punya. Kritikan membangunpun akan dianggab kata2 memusuhi, padahal kita berharap itu bisa mengubah sesuatu yang jelek di mata konsumen, jd lebih bagus

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh, bisa jadi, Mbak? Usut punya usut ternyata itu mungkin 90% si empunya rumah makan yang Mbak Fanny review? (10% sisanya hanya Tuhan yang tahu, haha.) Rugi mereka yang menolak kritikan yang membangun, duh duh duh.

      Hapus
  6. Aku sebenarnya bukan orang anti kritik. Asalkan kritiknya itu disampaikan dengan cara yang baik, sopan, dan gak cenderung merendahkan atau mempermalukan. Jadi yes, aku setuju banget dengan tips dari Mbak Ila.

    Sebelum memberi kritikan, sebaiknya kita posisikan diri kita sebagai penerima kritik. Bagaimana rasanya jika kita menerima kritik jika kritikan itu disampaikan dengan cara sopan dan bersahabat, atau dengan cara yang kasar. Tentu saja kita lebih senang menerima kritikan yang terdengar bersahabat daripada yang kasar. Jadi ketika kita memberikan kritik kepada seseorang, sebaiknya kita tata dulu kata-katanya sebaik mungkin supaya kritikan yang kita berikan bisa diterima dengan baik dan gak menyakiti hati orang.😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terkadang kita luput menilai dari sudut pandang orang lain, Mbak. Apa yang buat kita biasa aja belum tentu dianggap sama oleh mereka. Akibatnya ya gitu deh, yang niatnya dijadiin "kritik" bisa-bisa dianggap cercaan oleh sebagian orang cuma karena cara penyampaian yang salah. Kan sangat disayangkan...

      Hapus

Hey, what did you think of the article? Join the discussion and let me know below!