
Pernah nggak kamu ngerasa bawaannya kepingin marah-marah
melulu, terus kebingungan sendiri, “Duh, aku kenapa, sih?” Atau, mendadak
timbul hasrat untuk misuh-misuh nggak
karuan?
Hmm… Kalau kamu bertanya-tanya kenapa, kemungkinannya bervariasi.
Pertama, emosi yang meledak-ledak itu boleh jadi disebabkan
oleh satu-dua pergolakan yang terjadi di dalam tubuh: contohnya, hormon yang
diproduksi pada tubuh cewek ketika menstruasi dapat memicu terjadinya mood swing (perubahan suasana hati) dan segudang sentimen ‘meledak-ledak’
lainnya.
Atau, bisa juga tendensi mengamuk ini diakibatkan oleh
faktor internal lainnya. Barangkali kamu memang terlahir sebagai orang yang super sensitif terhadap berbagai macam
hal. Dan, tanpa disadari, sifaat bawaanmu itu berdampak ke cara kamu dalam
menyikapi problem yang sedang kamu
hadapi secara impulsif.
Lalu, stres menjadi faktor berikutnya yang juga berpengaruh
secara nggak langsung terhadap kemunculan amarah. Coba lihat di sekeliling
kamu, deh, atau perhatikan diri kamu sendiri: mereka-mereka yang menerima
banyak tekanan dari lingkungan sekitarnya (misalnya, menerima rentetan
pertanyaan kapan lulus kuliah, kapan
kerja, kapan nikah, kapan punya anak, dll) rupanya cenderung lebih gampang
naik pitam ketimbang mereka-mereka yang jarang terekspos ke perbincangan serupa,
loh.
Di samping stres, ada satu faktor eksternal lagi nih yang nggak
jarang diduga selaku dalang di balik kecenderungan kita buat marah-marah. Mungkin,
kita terbiasa melihat anggota keluarga atau role
model (sosok yang kita hormati) kita melampiaskan amarah mereka dengan
teriak-teriak ke orang lain, atau lebih ekstremnya lagi, sampai melakukan
kekerasan fisik.
Intinya, entah apapun itu alasannya, ada satu hal yang jelas
kamu sadari: kamu menyadari bahwa belakangan ini sumbu emosi kamu lebih cepat
tersulut daripada biasanya. Eh tapi, bukannya kebanyakan dari kita juga sejatinya
sedang menghadapi hal yang sama, ya? Lebih-lebih lagi di era serba nggak
menentu seperti sekarang, agaknya sedikit susah buat kita untuk terus berpikir
dengan kepala dingin.
Padahal, amarah itu jenis perasaan yang lumrah kita jumpai,
kok. Bahkan, nggak ada salahnya kita merasa jengkel atau kesal akan sesuatu! Yang
terpenting, kita perlu tahu bagaimana sebaiknya mengontrol emosi kita dan
mengendalikan diri saat marah.
Hei, yakin nih, kamu nggak mau pin/bookmark artikel ini untuk dibaca lagi nanti?

“Gimana sih caranya supaya aku enggak kelepasan pas lagi
emosi, apalagi sampai nyolot ke orang lain atau gebrak-gebrak meja?”
Usah terburu-buru, gaes. Sebelum belajar perihal anger management (pengelolaan emosi), ada
satu hal penting yang perlu kamu ketahui di awal. Yasss, mula-mula, kamu sepatutnya mengenal lebih dalam tentang penyebab
dari amarah itu sendiri. Yuk, kita baca sama-sama alasan mengapa manusia bisa merasa
dongkol, geram, dan jengkel akan sesuatu.
3 Alasan Utama Mengapa Kita Merasakan Amarah
1. Rasa takut
Siapa yang menduga bahwasanya ketakutan merupakan salah satu
pemicu nomer satu dari amarah?
Ketakutan yang dimaksud di sini bukan yang merujuk kepada
hal-hal serius yang berpotensi mengancam nyawa, ya, tetapi lebih condong ke
ketakutan-ketakutan dalam konteks sosial.
Misalnya, takut dipermalukan di depan umum atau takut gagal
dapat berujung pada terbentuknya amarah. Di alam bawah sadar kita, rasa takut
tersebut kemudian diubah menjadi amarah dengan sedemikian rupa sebagai salah
satu mekanisme kita untuk melawan kepanikan.
2. Frustasi
Selanjutnya yakni frustasi. Yup, frustasi juga bisa menjadi akar dari pecahnya emosi, terlebih kekecewaan
yang terus bertumpuk seiring waktu. Pada akhirnya, kemarahan kita meluap-luap
dan dorrr! Meledak deh begitu aja!
Yang horor adalah terkadang kita bahkan luput menyadari
kalau perasaan enggak mengenakkan seperti ini bersarang di lubuk hati kita,
loh. For example, kamu ngerasa getun berat lantaran salah satu rekan
kerjamu justru males-malesan di kantor sementara seisi departemen kalang kabut
ngejar deadline penting-ting-ting-ting.
Lebih parahnya lagi, gara-gara orang ini nih, mau nggak mau
kamu kudu mengemban tanggung jawabnya daripada tenggat waktunya nggak terkejar
sama sekali. Alhasil, ketika kamu nggak sanggup lagi menahan kekesalan itu, ngelabrak
do’i membabi buta di depan khalayak umum kedengarannya seperti solusi yang
paling tepat untuk mengakhiri penderitaan itu – yang nyatanya langkah itu sama
sekali enggak bener, gaes.
Please, don’t try
this.
Jadi, jika ditelaah secara terperinci, frustasi kerap bersumber
dari ketidakberdayaan kita untuk mengubah situasi yang tengah kita hadapi, dan
lumrah banget untuk merasa kesal karena kondisi tersebut.
3. Rasa sakit
Bagaimana kamu bereaksi saat seseorang tanpa sengaja melukai
perasaanmu? Marah? Itu wajar. Saya juga begitu, kok!
Rasanya acapkali kita baca berita tentang pria/wanita yang memergoki
pasangannya selingkuh dengan orang lain. Apa persamaan
di antara orang-orang yang menjadi korban perselingkuhan itu? Bingo! Rasa sakit yang mereka alami secepat
kilat berganti menjadi amarah. Hal yang sama juga terjadi saat kita dikhianati
oleh orang-orang kepercayaan kita.
Manusiawi nggak sih kalau kita teramat-sangat-ingin-sekali
mengakhiri rasa sakit dan penderitaan yang kita alami?
4 Dampak Buruk Marah
Aslinya, doyan marah-marah itu nggak bagus buat kita, loh. Alasannya
pun bermacam-macam. Iya sih, bukan berarti kalau emosi bernama amarah itu kesannya
jelek melulu. Namun, perlu digarisbawahi pentingnya untuk membedakan mana yang
bersifat positif dan merusak.
Nah, salah satu metode paling sederhana untuk mencegah
kemunculan marah yang bersifat merusak yakni dengan menelaah lebih dalam
perihal emosi itu sendiri.
Kemarahan yang bersifat negatif biasanya ditandai dengan amarah
yang membawa tuannya ke hal-hal buruk. Setelah meluapkan emosi tipe ini, kamu
tuh bukannya lega tapi justru ngerasa bersalah dan menyesal. Sayangnya,
dampaknya permanen dan nggak mungkin bisa dikembalikan lagi seperti semula
(tekan-tekan tombol ctrl + z juga nggak akan ngaruh sis, wkwk).
Juga, ketika kamu ngerasain amarah yang seperti ini, kamu sejatinya
hanya punya sedikit kendali untuk mengontrolnya. Ujung-ujungnya, kamu malah
terjebak di dalam perasaan yang tercemar, yang nggak jelas bagaimana awal mulanya,
apa penyebabnya, dan bagaimana resolusinya.
Jika dirangkum, kira-kira begini nih beberapa dampak buruk
dari kemarahan yang bersifat negatif/merusak.
1. Menghalangi berpikir secara logis
Yang pertama: kemarahan negatif yang nggak terkendali cenderung
punya dampak yang signifikan pada cara berpikir kita. Jadi, ketika kita dilanda
jenis amarah yang satu ini, logika kita bakal mandek begitu aja. Dan,
ujung-ujungnya kita justru mikirin atau ngomongin hal-hal yang akhirnya kita
sesali setelah beberapa saat.
Ibaratnya tuh ya, kemarahan itu mirip seperti awan gelap
yang menutupi sinar matahari (perlambang kebahagiaan kita). Emosi ini
menghalangi segala hal positif yang umumnya kita lihat. Alhasil, kita cuma bisa
ngelihat yang jelek-jelek aja dari apapun di sekitar kita. Duh, ngeri banget,
ya?
2. Memicu keretakan di dalam suatu hubungan
Ego, selain ditetapkan sebagai penyebab kemarahan, juga
merupakan salah satu pemicu adanya perasaan pahit dalam suatu hubungan yang
mungkin pada akhirnya bermuara ke bad
ending seperti putus cinta, perceraian, atau sekadar hilangnya ketenangan
pikiran.
Selain disamakan bak awan gelap, memupuk kemarahan dalam
hubungan ibarat merawat batang besi dengan cara yang buruk. Kalau nggak
diperhatikan dengan baik, batang besinya pun berkarat dan akan kehilangan kilaunya.
Sama halnya dengan perasaan. Ketika daya tariknya hilang, kita nggak bisa
kembali ke saat-saat di mana semuanya masih menyenangkan.
3. Menimbulkan stres
Sampai di sini, kamu pasti udah ngeh banget kalau kemarahan ialah pemicu stres yang paling ampuh. Ini
karena saat kita marah, bahkan tugas atau pekerjaan paling remeh sekalipun
kelihatan ngebosenin. Walhasil, otak kita dipaksa bekerja lebih keras daripada
biasanya (yang mana sebenarnya hal itu nggak perlu sama sekali andai kita tahu
bagaimana semestinya kita mengendalikan diri saat marah!).
Alasan lainnya adalah karena fakta bahwa kemarahan punya
kekuatan magis untuk membikin kita terkenang-kenang akan masa lalu. Kemudian, kita
dibawa kembali untuk mengingat kejadian buruk yang pernah terjadi di waktu
lampau yang, bukannya berdampak positif, malahan menambah lebih banyak tekanan
ke pikiran kita!
4. Menjauhkan kebahagiaan
Terasa nggak sih, bahwa saat sedang marah, kita mengamati
sebagian besar aktivitas atau hal yang dulu membuat kita bahagia nyatanya nggak
lagi menimbulkan efek yang sama? Ini terutama karena kita mulai menemukan
kesalahan dalam segala hal dan mengeluh tentang apapun yang kita lihat dan
dengar.
Saat berada dalam kondisi pikiran dipenuhi kemarahan,
terkadang kita cenderung secara otomatis mikirin kejadian-kejadian buruk atau
menyedihkan sebelumnya. Eh, selanjutnya kita terdorong ke luar jalur dan terperosok
di dalam kombinasi perasaan serba nggak enak bernama kesedihan, agresitivitas,
dan kemarahan.
“Bitterness is like cancer; it eats upon the host. But anger is like fire; it burns it all clean.” – Maya Angelou
Iya, memang sedahsyat itu efek buruk dari kemarahan. Gara-gara
perasaan yang satu ini, kita berisiko kehilangan kemampuan kita untuk
mengapresiasi apa-apa yang kita miliki di hidup kita. Juga, gara-gara
kemarahan, tiba-tiba semuanya jadi serba ngeselin!
5 Langkah Efektif Mengendalikan Diri saat Marah

Lantas, bagaimana semestinya kita mengendalikan diri saat marah? Shhh, inilah beberapa trik yang kadang kala saya terapkan untuk mengontrol emosi ketika saya dilanda kemarahan luar biasa:
1. Perhatikan tanda-tanda yang muncul ketika amarah timbul
Uniknya, saat kamu diserang kemarahan, tubuhmu hampir selalu
memberikan “tanda” untuk menunjukkan kepada kamu bahwa sejatinya kamu sedang
enggak baik-baik saja. Apa saja tanda-tandanya?
Kamu mungkin mulai merasa tegang atau kepala terasa
berdenyut-denyut seperti akan meledak. Atau, kamu barangkali memerhatikan adanya
hasrat aneh untuk melontarkan kata-kata kasar.
Begitu kamu menjumpai sinyal-sinyal menggelisahkan kaya
gini, tubuhmu secara otomatis akan mengkategorikan situasi tersebut ke daftar “bahaya”.
Alhasil, secara nggak langsung kamu pun bersiap-siap untuk melawan ancaman itu.
Seperti apa bentuknya? Barangkali kamu akan meradang,
mengamuk, atau gusar terhadap sesuatu atau seseorang yang menjadi penyebab
kemarahanmu.
Respon-respon ini sebetulnya merupakan proses penting yang berguna
banget ketika kamu benar-benar berada dalam situasi berbahaya yang mengancam
keselamatanmu. Sayangnya, seringkali respon seperti ini muncul di keadaan yang kurang
pas, misalnya, ketika kamu sedih, frustasi, atau disakiti oleh orang yang kamu
sayangi.
Dalam kasus tersebut, kamu jelas-jelas membutuhkan strategi
yang lebih baik daripada sekadar menuruti keinginan impulsif nan bobrok.
2. Berhenti sejenak
Setelah kamu menyadari tanda-tanda yang ditunjukkan oleh tubuhmu selagi kamu sedang marah, cari tahu apakah kamu bisa menahan diri sebelum meledak membabi buta pada orang lain. Kamu bisa ngelakuin ini lewat beberapa cara:
- Gunakan kode-kode tertentu untuk menyuarakan kondisimu, contohnya: “Aku butuh waktu istirahat, nih” atau “Maaf, tapi aku kepingin sendirian sekarang.”
- Ambil napas dalam-dalam beberapa kali untuk memperlambat respon tubuh mengkategorikan situasi tersebut ke daftar “bahaya”.
- Ubah posisi tubuhmu untuk melepas ketegangan, e.g.: kalau sedang berdiri, ada baiknya kamu duduk, atau kalau sedang duduk, coba berbaring.
- Ekspresikan amarahmu secara verbal di tempat yang sunyi dan jauh dari kerumunan orang.
- Lakukan aktivitas fisik seperti jalan-jalan santai atau jogging untuk melepas kemarahan (apabila teknik sebelumnya dirasa masih kurang).
Tatkala kamu menghentikan respon “meledak-ledak” di awal,
pahami bahwa kamu sama sekali enggak berusaha menyangkal emosi tersebut.
Sebaliknya, kamu “mengontrol” ledakan amarah dengan mempelajari bagaimana emosi
itu muncul di tubuhmu.
Lalu, kamu bisa memilih opsi yang lebih baik tentang cara
menanggapi suasana pelik yang sedang kamu alami alih-alih membuang energimu
untuk marah-marah ke benda/orang yang salah.
3. Tuangkan amarah ke dalam bentuk yang berbeda, atau berkonsultasi dengan
orang ketiga
Masih ingat quote
dari Maya Angelou di bagian sebelumnya? Ho-oh, ibarat api yang menyambar-nyambar,
kemarahan itu dapat dengan mudah membesar. Kamu harus mengamatinya dengan
kepala dingin tanpa memperkeruh suasana. Kalau kamu tipe orang yang merasa
tenang setelah menumpahkan keluh-kesahmu ke dalam jurnal, do it.
Atau, tanyakan kepada salah seorang teman apakah dia mau duduk dan menghadapi kemarahanmu itu tanpa ikut-ikutan “seperti menuangkan minyak tanah dalam api” (a.k.a ngompor-ngomporin!). Lihat perbedaannya di bawah ini:
“Wah, parah banget sih, aku nggak percaya bisa-bisanya dia ninggalin kamu demi cewek lain. Dasar cowok ********!” vs. “Jangan larut dalam kesedihan, ya. Tetap semangat!”“Anggota kelompokmu memang nggak becus, ya? Mereka kok tega sih nyuruh kamu nyelesain semuanya sendiri?” vs. “Hei, pasti berat banget, ya? Gapapa, aku ada di sini buat kamu. Kamu enggak sendirian, kok.”
Ketika kamu memposisikan diri sebagai saksi dan mengawasi kemarahanmu
dari sudut padang orang ketiga, panas yang kamu rasakan dari api kemarahan itu
bakal berkurang. Begantung pada tingkat keparahannya, proses ini mungkin
terjadi dengan cepat. Atau, jika efeknya terlanjur teruk, kamu mungkin kudu
mengulang proses ini berkali-kali.
Sebenarnya, tujuan dari menyerukan kemarahanmu bukanlah supaya
kamu tetap terjebak di dalamnya, juga bukan untuk melenyapkannya.
Lantas apa?
Saat kamu mengekspresikan amarahmu dengan cara yang sehat
dan terkendali, perasaan itu nggak akan berbalik menusuk kamu dari belakang.
Kemarahan ada untuk melindungi kamu dari bahaya loh, ingat kan?
4. Rangkul emosi negatif lainnya di balik amarah
Begitu kemarahanmu sedikit melunak, kamu akan mulai memerhatikan
emosi lain yang kamu rasakan di baliknya. Rupanya, amarah nyaris selalu
menyembunyikan perasaan-perasaan lain yang lebih rentan, seperti rasa sakit,
kesedihan, atau ketakutan. Contohnya:
“Gara-gara kamu
semuanya jadi hancur berantakan!” mungkin ada hubungannya dengan, “Apa yang sudah
kamu perbuat sejujurnya menyakiti perasaanku, kawan.”
“Gapapa, aku
baik-baik aja, kok,” mungkin ialah topeng dari apa yang sebenarnya kamu
rasakan, “Mana mungkin aku baik-baik aja?”
Berlatih cara mengendalikan diri saat marah berarti belajar
menghadapi sentimen yang rentan dan rapuh pada tingkatan yang lebih dalam.
Perasaan-perasaan itulah yang memegang kunci kesuksesanmu secara emosional.
Menahannya atau justru mengabaikannya enggak akan menolongmu barang sedikitpun,
dan saya nggak mau kamu ngelakuin kesalahan ini.
5. Komunikasikan niat/harapan yang sesungguhnya dengan tegas
Setelah kamu mengambil empat langkah pertama, kamu bakal
lebih siap untuk mengutarakan apa yang sejatinya kamu rasakan. Alih-alih
meluapkan amarah, kamu bisa berbicara dengan tegas.
Bersikap tegas merupakan cara membela diri dengan menyuarakan
apa yang kamu rasakan terhadap orang lain, dan apa yang kamu butuhkan dari mereka.
So, jangan salah mengartikan ini
sebagai jalan untuk menyalahkan apalagi nge-bully
orang lain, ya!
Dan, bersikap tegas juga bukan tentang berpura-pura sok
baik-baik aja. Percaya atau enggak, ini adalah salah satu skill komunikasi penting yang sebaiknya kamu pelajari.

Apa kamu juga seringkali mengalami kesulitan untuk menahan diri? Kira-kira, langkah apa yang semestinya kamu ambil untuk menjaga emosimu supaya kamu nggak lekas naik pitam?
Mudah-mudahan sedikit tips yang telah saya jabarkan di atas bisa mendorong kamu untuk menjadi pribadi yang lebih tenang, atau setidaknya membuka pikiranmu tentang cara-cara baru dalam mengendalikan diri saat marah yang barangkali belum pernah kamu jumpai sebelumnya.
Yuk, tulis komentarmu di bawah kalau kamu juga relate dengan persoalan ini!
11 komentar
Betul banget, kalau sudah amarah muncul, pikiran logis hilang sepertinya dirinya wis kerasukan setan, muntab banget. Orangnya yang didepan serasa lebih kecil dan bisa dipites saat, tidak kebayang rasanya kalau seperti ini. Betul juga, orang yang terbiasa marah, seharusnya sudah bisa mengendalikan diri sendiri dan mengetahui dampaknya. Kalau saya lagi marah lebih baik langsung ke kamar mandi, madi dan tidur. Eh tidurnya di kamar setelah mandi :)
BalasHapusDuh, amit-amit deh ya Mas Roni, jangan sampai kita kebablasan. Kalau udah menyesal, wah, itu yang paling sulit. Mau bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur! Nah lho, jadi yang bener tidurnya di mana nih, Mas? 😂
HapusKarena jarang punya teman cerita, kadang kalo marah saya lebih suka diam. Kadang kalo nemu teman cerita juga ngga mood untuk cerita. Kadang lebih nyaman untuk dituangkan dalam tulisan. Misalnya waktu itu, saya sedang marah, lebih tepatnya kecewa dengan sistem pembelajaran online. Saya tidak mungkin marah ke dosen saya, atau paling tidak curhat ke teman saya. Selain karena tidak ada gunanya, juga saya tidak mau di DO.
BalasHapusHasilnya, saya nulis aja. Tapi nulisnya bukan saat kecewanya diatas puncak, saat emosinya baru turun baru saya nulis pelan-pelan. Kadang kalo marah atau kecewa orang cuma butuh didengarkan, bukan dikasih saran. Itu juga alasan saya malas curhat saat marah dan kecewa
Memilah-milah teman curhat itu susah-susah gampang ya, Mas Rahul. Saya juga, dari sekian banyak temen, cuma satu yang saya rasa paling sreg dan nyaman untuk dicurhatin. Alasannya seperti apa yang Mas Rahul bilang, karena temen saya ini bukan tipe orang yang sok tahu, apalagi sampai ngasih saran tanpa diminta. Ketika marah, saya menyadari bahwa terkadang saya hanya sedang ingin berkeluh-kesah.
HapusTetapi marahnya saya mungkin belum seproduktif Mas Rahul. Saya lebih memilih ngelakuin kegiatan yang menenangkan seperti meditasi. But, after all, saya yakin sih masing-masing punya pilihannya sendiri, lebih prefer cara A daripada cara B. Selama nggak merugikan diri sendiri (e.g. marah-marah ke Pak Dosen yang berbuntut drop out, hahahaha), everything is fine.
Marah itu wajar selagi dalam batas dan punya tujuan tertentu. Yang berbahaya, marah berkepanjangan. Ngomel2, caci sini maki sana. Ujung2nya tak bertegur sapa sepanjang masa.
BalasHapusDampaknya memang betul-betul berbahaya ya, Bu, bukan cuma bagi diri sendiri tapi bagi hubungan sosial kita dengan orang lain juga..
HapusHiks, saya nih sekarang lagi mudah banget marah.
BalasHapusMasalah kecilpun ngamuk.
Mungkin juga karena rasa sakit di badan, plus rasa depresi di hati dan pikiran.
Hanya bisa mencoba istigfar sih, semakin mencoba mendekat pada-Nya, karena memang saya nggak bisa pergi sejenak, huhuhu
Bagaimana kabarnya sekarang, Mbak Rey? Apa sudah mendingan?
HapusYa gitu deh, up and down.
Hapuskadang bisa tenang, tapi seringnya mudah meledak.
Kasian anak-anak.
Hanya beberapa waktu lalu, saya pakai cara dengarin ceramah kalau pas marah, jadi kalau marah saya istigfar, melipir sejenak buak youtube, Alhamdulillah bisa lebih tenang, dan saya mencoba ikut seminar mengatasi inner child juga :)
Selain pengen marah-marah terus waktu menjelang menstruasi maka aku juga selalu saja merasa lapar kalau menjelang menstruasi. Pernah sehari makan nasi sampai lima kali menjelang menstruasi padahal kalau hari biasa cuma makan nasi tiga kali sehari.
BalasHapusKalau aku biar nggak marah-marah Mulu itu ya tarik napas lalu hembuskan dan kemudian nonton kartun yang lucu atau nonton drama Korea genre komedi romantis.
Halo Kak Ila!!!! Maaf banget ya, baru bisa berkunjung balik!!! Artikelnya sangat bagus, lengkap dan terperinci.
BalasHapusDari langkah-langkah diatas, yes bener banget Kak Ila, bahwa kemarahan kalau nggak bisa dikontrol itu macam api. Nanti ujungnya melebar kemana-mana dan malah jadi toxic, entah ke kitanya atau ke orang di sekitar kita.
Sejauh ini, ketika aku marah, aku selalu diam dulu Kak Ila. Lalu, tarik nafas dalam-dalam. Semacam merilekskan otak dan hatiku yang sedang panas, hahahah 🤣🤣🤣 Berikutnya, aku akan mulai nulis jurnal, untuk meluapkan sisa-sisa emosiku. Kenapa aku bisa marah, kenapa bisa nangis, dan segala macam yang tadi sempat mengganjal dihatiku. 🙈
Hey, what did you think of the article? Join the discussion and let me know below!